Judul Buku: BUMI GORA, kumpulan puisi
Penulis: M. Hasan Sanjuri
Penerbit: Sanggar Sastra Al-Amien (SSA)
Tahun Terbit: Desember 2009
Tebal: vi+52 Halaman
ISBN: 978-602-96468-0-1


BUMI GORA

aku kembali ke kampung halaman, setelah bertahun-tahun merantau mencari garis nasib. membaca takdir. mengemas barang-barang menjadi harapan. aku tak tahu apakah ibu juga merindukanku? atau masih menenun sarung yang aku pesan tahun lalu? jalan-jalan di kampung halaman terbayang, dengan tikungan-tikungan yang bertabrakan. sawah-sawah mulai menyala. ada sungai di sampingnya. kering kemarau telah mengubahnya menjadi mimpi yang terluka. batu-batu cadas menyerupai naga yang pernah dikendarai para datu untuk bertempur, menyerang musuh-musuh demi kemenangan sebuah kerajaan. rinduku pada kampung halaman telah menyeretku memasuki ruang gelap di tempurung kepalaku. mencari-cari mutiara asin-mutiara tawar. jari-jariku memanjang. menyerupai tahun-tahun kenangan. mempertebal mimpi-mimpi lama menjadi harapan.

di halaman. sebuah bandara yang masih menjadi sengketa mengalirkan sungai darah yang amis dan jorok. tapi masih tersisa wangi dari kuncup melati dan rekahan mawar. sisa percintaan tamu asing yang datang kemalaman. kemarau masih akrab di telingaku. kepercayaan lenyap begitu saja. daun padi yang menguning berubah tembaga. matahari yang terbit di ubun-ubunku membakar seluruh rumput di lapangan golf. memanaskan jalan-jalan raya. lalu bangkit bayi-bayi mungil dari rahim ibunya. menagih tanah warisan dari moyangnya.

ada yang lebih aku banggakan padamu selain cintamu yang pagi, atau senyummu yang mawar, atau lukamu yang sejati, atau langkahmu yang membelah malam, atau diammu yang menawan, atau tarianmu yang basah, atau keluhanmu yang manja, atau tatapanmu yang gemuruh, atau sentuhan-sentuhanmu yang jenaka, adalah keberanianmu mengajak semua orang untuk berduka. menangisi sisa-sisa kolonial yang masih lekat dalam tubuhmu. menjadi mitos dan khayalan.

bumi gora. bumi gora. namamu kulukis dalam bingkai kaca. daun-daun basah oleh kesedihanmu. lalu dengan perlahan menjelma ombak di halaman. perahu-perahu semakin oleng oleh bau tubuhmu. lobster-lobster menjadi menu di restoran. sedangkan kita lebih memilih menjadi penonton ketimbang belajar membaca gerak angina dari sisa air mata. kebaya dan songket terbentang di jemuran. menggantikan kehadiran pelangi yang melingkar di atas pohon sangkaguri. kebaya dan songket telah basah. kebaya dan songket telah menangis.

2006

bumi gora : Nama lain dari Nusa Tenggara Barat, dan merupakan lahan tempat suksesnya penerapan teknologi pertanian dengan sistem Gogo Rancah (padi gogo) yaitu penanaman padi di lahan kering.
datu : raja



M. Hasan Sanjuri
SENANDUNG RINDU BANJAR GETAS

melalui keperihan di lambungku, aku mencoba menyusun bahasa. menari bersama asap dupa. seakan-akan ruh para leluhur datang menjengukku. menanyakan tentang keris pusaka dan tentang kematian yang disesalkannya. ada cahaya bintang menyelinap di atas atap. menggerak-gerakkan sisa malam yang sempit. aku tidak mengerti. inikah yang disebut dengan penyesalan? kelewang, keris dan juga bambu runcing tetap tergantung di dinding yang renta. tiba-tiba kitab hasil pertapaan berhamburan. membentuk peta kegelisahan yang selama ini terpendam dalam kalbu.

di jalan-jalan raya. suara delman memecah sunyi. roda-roda berpaling dari luka. berputar. seakan telah menemukan isyarat kebahagiaan di pinggir-pinggir jalan. lalu kita menimbun kata-kata dari sisa pertempuran yang sia-sia. ribuan anak balita duduk bersila di sudut goa. membaca garis perlawanan yang kita titiskan dalam dendam. namun adakah di sana tuhan membaca pikirannya? sehingga kematian tidak perlu lagi disesalkan.

aku menyaksikan orang-orang bernyanyi di televisi dengan lagu yang tak pernah diajarkan oleh nenek moyangnya. sebuah lagu yang tak mampu membangkitkan asmaraku untuk bercinta. aku merindukan tubuhku lahir pada abad pertama dari putaran dunia. berjumpa dengan adam yang masih meragukan dirinya manusia. seorang pemuda menelepon kekasihnya di pagi buta. adakah hawa menyisir rambutnya di sana? atau sedang bernyanyi untuk meredamkan perih setelah pembunuhan putranya? tiba-tiba aroma firdaus yang kudus menampar sudut hatiku.

purnama telah membagi cahayanya. gerhana tersimpan di hatiku. lalu kembali kusucikan tubuhku dengan baris-baris doa.

bagaimana mungkin aku bisa menghentikan tetes airmata di pekarangan rumah sementara mimpi dari malam ke malam selalu berkemas diri untuk pergi dan meninggalkan luka baru di pelupukku. hembusan angin begitu dingin memporak-porandakan istana yang kubangun di dadaku.

tahun ini seakan-akan menunggu matahari pecah di ubun-ubunku. debu tetap menempel di lipatan baju. tiba-tiba di selokan belakang rumah terdengar senandung lagu daerah mengalir dengan deras, mencari muara di hatiku. "di mana kemerdekaan itu ?" teriak seorang lelaki dengan busur di tangannya. tanah perbatasan-tanah perbatasan berapa purnama yang dibutuhkan untuk mengenalmu? dalam buku harian kutulis namamu yang selalu terancam bencana.

hari pertengahan musim hujan telah tiba "anakku anakku negeri baru menunggumu"

2007

banjar getas (bg) : Arya Banjar Getas (ABG): Bernama asli Arya Sudarsana muncul sebagai pimpinan laskar (1675-1678 M) sampai menjadi patih kelima kerajaan Selaparang antara (1715-1716 M). ABG akhirnya menjadi nama sebuah kerajaan yang semula bernama kerajaan Memelaq (1722-1742 M) sekarang: di kelurahan Gerunung Praya, lalu berpindah ke Gawah Brörâ (berganti nama menjadi Praya). -

Namun sebutan ABG akhirnya menjadi nama gelar dinasti raja-raja yang memerintah di kerajaan itu (mulai Arya Sudarsana sebagai ABG I tahun 1722-1740 dan meninggal tahun 1742, berlanjut sampai Raden Wiracandra sebagai ABG VII).

(Sumber: Lalu Muhammad Azhar, 2004: Arya Banjar Getas; Bedah Takepan, Babad dan Buku Sasak. Mataram: Yayasan Pendidikan Pariwisata Pejanggiq.)


dalam versi lain sajak ini berjudul senandung rindu raden budiring dan meraih juara 2 lomba menulis puisi yang diadakan oleh Dewan Pengurus Perhimpunan Indonesia Tionghoa dalam rangka memperingati hari kabangkitan nasional 2007

Minggu, 31 Januari 2010 di 04.57 , 5 Comments