HORISON Oktober 2007



M. Hasan Sanjuri
PESTA BAU NYALE

awan menjelma jamur di langit senja, obor-obor sudah mulai menyala. sebentar lagi film layar tancap akan diputar. sepasang terune dan dedare melayarkan perahu dari kulit semangka. tawanya sangat riang seperti kebahagian seorang putra mahkota mempersunting permaisuri yang datang dari istana yang jauh. seribu laba-laba membuat sarang di pohon akasia.

dingin membatu di kulitku "di mana wayang kulit, di mana gendang belek?" malam semakin tebal di hatiku. kucoba menyimpan dongeng nenek moyang pada batu-batu, pada bening air laut, dan pada reranting yang patah di ujung sunyi.

putri mandalike! terasa tangismu masih terdengar antara batu-batu karang dan dan debur ombak yang hampir hilang. seorang nelayan tua di pantaimu berkisah pada puteranya tentang wajahmu yang belum pudar dalam mimpinya, tapi ia bukanlah aku bukan pula datu pejanggik yang selalu ditunggu.

matahari pucat pasi di laut selatan, dan pesta yang di nanti telah datang. lentera-lentera kecil menyala, asapnya membumbung menembus batas cakrawala. seribu pemuda bernyanyi, suaranya mendaki gunung sambil membawa berita tentang peperangan bersama perempuan yang datang dari balik malam. “ke mana kulempar kenangan ini?” dan mantra yang hinggap di rambutnya diterbangkan kemarau ke samudera. di atasnya perahu-perahu mengantar jeritan bayi pada tangis ibunya, perempuan itu tetap saja membatu dengan sujud beku di dadanya. “perempuan… itukah dirimu putri mandalike? saksikanlah rembulan tumbuh dari batang padi anak-anakmu, anak-anak yang menginginkan tubuhmu lahir kembali dari sisa nyale yang dijaring oleh terune dan dedare di lautan kesedihan” segerombolan kunang-kunang mendinding malam. pergantian siang dan malam terlalu kental dalam luka, tamu-tamu asing mendirikan tenda di pantaimu. sebagian lagi sedang bercinta dalam selimut sutera merah tembaga. barisan pedagang jagung bakar tersenyum menawarkan harga, mereka tidak paham kemerdekaan. mereka tidak mengerti cita-cita.

2006-2007

pesta bau nyale : pesta menangkap nyale (sejenis cacing laut berwarna hijau keemas- emasan) dan diyakini oleh warga lombok sebagai jelmaan dari putri mandalike yang menceburkan dirinya ke laut saat diperebutkan oleh beberapa pemuda.
terune dan dedare : pemuda dan pemudi
gendang belek : musik tabuh adat sasak
datu pejanggik : raja yang pernah berkuasa di wilayah lombok tengah

Sabtu, 10 Oktober 2009 di 07.39 , 1 Comment

HORISON Januari 2008

M. Hasan Sanjuri
MEMBACA MASA SILAM


aku belum bisa tidur, matahari yang menyinariku dari tahun ke tahun selalu berubah warna. pintu-pintu rumah tertutup. air sungai dipenuh bangkai, seorang ibu mencuri kain putih untuk mengkafani anaknya. gaun hitam yang dipakainya terbuat dari penyesalan. aku takut menanyakan suaminya yang tak kunjung pulang. akankah ia masih janda? atau serdadu yang berusaha membela negaranya? di negeri ini, masihkah perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki?

pertanyaan jadi buntu. tawar-menawar harga barang di pasar jadi buntu. deru kendaraan di terminal jadi buntu. ceramah-ceramah agama jadi buntu. waktu itu pesta kemerdekaan disiarkan di radio. tahun-tahun berlalu membawa kemiskinan. sebuah kota tua bercerita tentang perjuangan melalui gedung-gedung yang hampir roboh.

bendera-bendera berkibar di setiap ujung jembatan, seperti malaikat melambaikan tangannya di bawah patung pahlawan. anak-anak sd berjemur di lapangan bundar. keringatnya meleleh, seperti kesedihan sepuluh tahun yang lalu.

sejak itu, aku teringat pada hari-hari penuh seragam sekolah. ada makhluk asing mengirim telegram kepadaku, tentang nyawa, tentang nasib yang tergadaikan.

2007

di 07.37 , 0 Comments

Kasykul



M. Hasan Sanjuri
AKU TELAH MENCINTAIMU SECARA DIAM-DIAM

aku telah mencintaimu secara diam-diam
tanpa pesan singkat atau dering panggilan di telpon genggam

aku telah mencintaimu secara diam-diam
tanpa mawar atau ukiran wajah dari pualam

aku telah mencintaimu secara diam-diam
tanpa surat cinta atau titipan salam

aku telah mencintaimu secara diam-diam
dengan puisi yang sebentar lagi akan terkubur dalam-dalam

09 Juli 2009


M. Hasan Sanjuri

PENGEMBARAAN

seorang gadis pengembara telah datang kemari. bertanya tentang perjalanan melintasi ombak. tanpa perahu layar ataupun kepak sayap gagak. di matanya kulihat seribu tombak nasib meluncur. mencari-cari ruang gelap yang tersimpan di sudut goa. tanpa mentari. tanpa obor ataupun kerling kejora. dia menggigil. dia takut pada cahaya. takut pada kematian tanpa permintaan terakhir, karena hidup tidak selamanya seperti cerita di dalam dongeng. aku tidak berani bertanya seberapa besar cinta yang dia bawa, menjadi bekal melintasi benua.

senja tenggelam di matanya. selendang diikatkan pada tubuh padatnya. dihempaskan tubuhnya pada ombak. seakan putri duyung menyulam gelombang dengan kesedihannya.

barangkali aku takkan pernah lagi bercerita tentang perjalanan ini, roda-roda dokar merapatkan kenangan pada kerinduan. tamparan angin pada daun gugur menusuk-nusuk sudut halus di hatiku. jalan-jalan beraspal itu basah. pecahan-pecahan kaca berlumuran darah. pertarungan siapakah yang akan diceritakan lagi di sini?

asmara pecah menjadi abu. rindu basah menjadi embun. dan segenggam kepiluan mengantarku pada sebuah negeri penuh dusta. tiba-tiba hatiku menjadi sunyi. mungkinkah pengembara itu tersesat, lalu kembali ke pangkuanku? ternyata dia masih bersembunyi di sudut goa. sedang menyusun sebuah gejolak dalam dada demi kemerdekaan sebuah bangsa?

Juni 2009



M. Hasan Sanjuri
Gadis Mesir

akankah kupu-kupu yang hinggap semalam di dinding kamarku menandakan kelahiranmu di tanah ini? tanah yang deras sungainya mengalir dari air mata dewi isis, lalu memancarkan gelombang ke sepanjang nadimu. tempat pertama kali ibu mengecup keningmu. sambil mencoba membaca bait-bait doa yang tersimpan dalam namamu.

masihkah kau terus bertanya dengan suara tangisan dalam telepon genggam itu? tentang kasih ibu yang terbagi? sementara di sepanjang malam kau masih saja menulis di buku harianmu “ke mana tangisku yang telah lama menganak sungai di puncak tursina?” akankah air matamu tetap mengalir, meniupkan gelombang sungai nil yang mengantar pelayaran rindu ke rumahmu?

layar-layar berkibar. tembang ummi kultsum mengalun ke bilik tidurmu. 94 piramida menyangga seribu kegelisahan di dadamu. “darah biru-darah biru, telah menetes dari tubuhku” teriak seorang gadis kecil membaca ukiranmu di atas batu. sedangkan aku masih saja termangu di jendela kayu. di rumah tua, tempat penginapan kita yang pertama.
Malam ini akankah datang seorang pembawa pesan padaku? membawakan kartu pos bergambarkan perahu kayu dan layar yang layu? dan di bawahnya ada sungai yang menyimpan badai dan gelombang.

Juni 2009

Dalam mitos Mesir, sungai Nil lahir dari air mata Dewi Isis yang tak berhenti menangis sepanjang tahun karena ditinggalkan oleh puteranya yang gugur dalam peperangan.

di 07.31 , 3 Comments