DARI REKAN SPIRITUAL


SUNGAI KECIL DARI BUMI GORA

Habibi Beka

Menulis adalah mencipta abstraksi realitas. Abstraksi dilahirkan dari banyak informasi yang lekat dalam memori. Memindahkan kenyataan dari satu kumpulan data dalam memori kita, terkadang data harus melewati beberapa proses seperti merangkai satu informasi dengan informasi lain, mengklassifikasikan, mengganti satu bagian kecil dengan yang lain dalam rangkaian yang besar, menggandengkan satu atau beberapa rangkaian besar informasi untuk satu penggal kecil informasi, dan masih banyak lagi. Semakin kompleks proses yang dialami oleh informasi-informasi sebelum menghasilkan sebuah abstraksi, maka semakin berwarna dan kreatif abstraksi tersebut. Oleh karenanya, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, sebenarnya bukan murni kenyataan yang dialami, tetapi lebih merupakan hasil konstruksi proses-proses tersebut di atas. Seorang ahli psikologi perkembangan terkenal, Jean Piaget, menyebut sifat tersebut dengan istilah konstruktivistik. Menurutnya, Kitalah yang mengkonstruksi bagaimana keberadaan diri kita sendiri.

Menulis puisi, adalah suatu proses abstraksi yang termasuk paling kompleks. Kompleksitasnya terletak tidak hanya pada kerumitan proses informasi yang dilalui, akan tetapi juga pada potensi manusia yang menggerakkannya. Jika Piaget menyebutkan peristiwa konstruktif pengetahuan hanya terjadi pada pikiran, maka menulis puisi lebih dalam dari itu juga menggunakan mesin (potensi manusia) yang lain yaitu rasa, dan hati. Dengan proporsi yang berbeda pada tiap penulis, ketiga potensi dasar manusia tersebut mencipta puisi, yang tidak hanya dapat mengabstraksi realitas apa adanya, tetapi juga menambah, mengurangi, menjungkirbalikkan realitas yang tampak, sehingga terperas sari pati makna kehidupan yang sangat berbeda.

"Hasil sastra bukan hasil eksemplar dari suatu jumlah, tetapi hasil keseorangan yang betul-betul utuh." Kalimat tersebut merupakan ungkapan almarhum Rendra saat ia masih muda, untuk menjelaskan bagaimana sifat puisi yang benar-benar mempribadi. Puisi merupakan hasil karya individual yang selamanya, semenjak ia dilahirkan, akan menjadi individu yang mandiri dan bebas untuk dinikmati oleh semua manusia secara individual.

* * *
Dalam kesederhanaan terdapat suatu makna dan emosi yang mendalam, mungkin ungkapan tersebut cukup tepat untuk melukiskan bagaimana perasaan saya ketika membaca puisi-puisi Sanjuri dalam antologi puisi ini. Simplisitas kehidupan anak-anak yang sering kali menimbulkan kerinduan manusia pada masa lalunya. Kerinduan pada manisnya senyum ibu, pada kesalahan-kenakalan yang belum terhitung dosa, dan berbagai rasa yang menjadi buah dari kepengayoman orang tua kita. Nurcholis Madjid, almarhum, pernah mengungkapkan bahwa kerinduan itu adalah fitrah kita sebagai manusia, dan dengan kerinduan pada yang setiap asal kita itulah nantinya kita kembali padaNya. Dengan demikian, bukankah puisi juga bernilai spiritual?

Lihatlah puisi sepotong senja di puncak rinjani, dan akan kita rasakan bagaimana belati kerinduan itu mengiris kenangan masa lalu pada Rinjani-Rinjani lain yang menjadi pondasi bangunan memori kedewasaan anda saat ini. Seperti kata Rendra, puisi adalah hasil individual yang utuh, eksis pada penulis dan juga para pembacanya secara individual. Mari kita simak:

sepotong senja di puncak rinjani
adalah nyanyian syahdu kupu-kupu
yang menyapu reranting di masa muda
juga seperti rintik hujan menyendiri di jalanan
ketika itu, aku berbenah diri sambil menulis puisi untukmu
dengan sisa airmata yang menetes di dadaku

sementara,
keringatku berwarna tembaga tumpah di tubuhmu
mengairi sawah-sawah, dan ladang-ladang tebu
mari berbaring sejenak
sambil menyaksikan jejak-jejak ikan
yang pernah menangisi hidup kita

(sepotong senja di puncak rinjani)

Sepotong senja di puncak rinjani memberikan nuansa dengan emosi yang padat. Emosi tersebut tersusun dari kenangan demi kenangan yang tertulis sederhana namun tidak menghalangi keindahannya.

Menikmati kesederhanaan sebenarnya memiliki arti bahwa kita sedang melawan arus kehidupan yang semakin lama menunjukkan keruwetan benang-benang fenomenanya, baik secara universal maupun secara personal. Mendalami kesederhanaan juga berarti bersenandung dengan melodi alam, menjadi bagian dari segala sesuatu yang mendukung eksistensi kita secara jujur. Sebagian besar manusia telah semakin lupa, terasing, dan tidak jujur pada diri mereka sendiri, demikian keluh kaum eksistensialis. Kesederhanaan itu bisa dilihat dalam penggalan sajak berikut:

di sekitar gunung itu, mekarlah kesunyian
dalam hati anak-anak yang mandi telanjang
sedang di sini, kita bisa berbaring
sambil mencatat sisa embun yang gugur di kolam kenangan

bersama para petani yang membajak sawahnya
kami menunggu aliran sungaimu yang kan bermuara di dadaku

(sepotong senja di puncak rinjani)

Iqbal berkata janganlah sekali-kali tenggelam dalam dunia, tapi tenggelamkan dunia dalam dirimu. Saya kira kesederhanaan yang menenangkan adalah lautan yang sanggup menenggelamkan apapun ke dalamnya.

* * *
Seperti senyum Yusuf yang mampu menelan seluruh sanubari Zulaikha, puisi sering kali sanggup menawan seluruh penghuni hati kita dalam jeruji keindahannya. Daya pikat ini disebabkan kekuatan puisi ada pada rasa dan intuisi. Pikiran hanya menjadi panggung yang mati, dimana kelincahan dan keanggunan rasa dan intuisi akan memainkan tarian di sepanjang episode pembacaan kita. Puisi yang menjadikan pikiran sebagai aktor utama ibaratnya hanya menyajikan panggung kosong kepada para pembacanya. Hambar!

Puisi peta rindu mungkin dapat menjadi contoh ringan bagaimana Sanjuri menjadikan rasa dan hati sebagai pemain utama dalam puisi-puisinya. Kita baca sepenggal syairnya untuk lebih menjelaskan bagaimana hal itu terjadi.

aliran sungai kecil di belakang rumahmu
menuntunku menuju bayanganmu yang mengabur
dalam pusaran waktu

aku tertunduk sejenak
nafasku seakan tertahan di bebatuan
kembali kupercepat langkah
melewati masa lalu
melewati jalan-jalan kecil penuh debu
dan kesunyian terus berhembus dari nafasku

(peta rindu)

Apalah arti sungai kecil dan bayangan seseorang bagi kita secara rasional? Tidak ada selain fakta masa lalu yang bertimbun di gudang ingatan. `Sungai adalah kata dimana kita melekatkan suatu gambaran mengalirnya air di dalamnya. mungkin beberapa batu kali berwarna kehitaman menghiasi bening aliran itu, atau sama sekali tak terlihat apapun kecuali gemuruh cairan kecoklatan yang menghanyutkan segala macam debu, pasir, lumpur dan sampah-sampah. Sama halnya dengan itu, bebatuan dan jalan-jalan kecil memiliki makna berdimensi fisik yang jelas dan dapat dipahami oleh semua orang.

Berbeda dengan karakter kata yang definitif, Sanjuri membawa sungai, bebatuan, dan jalan-jalan kecil penuh debunya ke arah yang lebih menyentuh kenangan, bukan hanya kenangan pribadi penulis, tapi bagi saya kenangan setiap pribadi yang membacanya. Sungai, bebatuan, dan jalan-jalan kecil penuh debu merupakan obyek yang hampir tidak seorangpun tidak mengetahuinya secara langsung. Bersama setiap obyek tersebut, peristiwa yang secara sederhana dapat kita sebut dengan kerinduan pada 'sesuatu' yang telah lama hilang, seolah hadir dan menciptakan kesunyian dalam nafas-nafas kita.

Ada emosi yang kuat, namun tetap lembut, mengalir dalam puisi-puisinya. Hal itu yang membuat saya selalu merasa senang untuk 'berbicara' dengan puisi-puisi Sanjuri. Puisi peta rindu di atas menjadi contoh bagaimana keluh rindu yang mendalam dihasilkan oleh obyek-obyek sederhana yang mungkin tiap hari kita temui dalam hidup. Bukankah materi hidup juga tidak pernah berubah? Ya, hanya rasa dan intuisi kitalah yang memberinya makna-makna baru setiap saat. Dunia adalah sebagaimana kita memandangnya.

* * *

Berkenalan dengan puisi-puisi Sanjuri akan mengajak kita untuk ikut juga berkenalan dengan rinjani, dokar, plecing (makanan khas lombok), berugak (balai-balai bambu), dan juga mamik (ayah), inak (ibu), saik (bibi), mbok (mbak), bli (abang), datuk bini (nenek), datuk laki (kakek), serta arik (adik). Kita juga akan diajak serta dalam pesta bau nyale, yaitu pesta menangkap nyale (sejenis cacing laut berwarna hijau keemas-emasan) dan diyakini oleh warga Lombok sebagai jelmaan dari putri mandralike yang menceburkan dirinya ke laut saat diperebutkan oleh beberapa pemuda.

Saya serasa melakukan petualangan di suatu negeri, negeri yang asing namun di saat yang bersamaan juga begitu dekat layaknya tanah kelahiran saya sendiri.

Kita lahir dari rahim pertiwi. Ibu kita bukan hanya perempuan yang mengandung dan melahirkan kita, melainkan juga tanah dimana seluruh energi hidup kita berasal. Tanah yang menumbuhkan benih-benih generasi. Tanah yang menjadi saksi bagaimana kita pertama kali merangkak, berjalan, berlari, berbicara dan merasakan cinta. Tanah itu pula yang akan selalu siap, setidaknya dalam kenangan, menerima kita apa adanya saat pulang.

Ibu pertiwi memiliki bagian dalam edaran darah dan denyut jantung kita. Karenanya, nafas dan pikiran kita juga menghembuskan aroma kedaerahannya. Bagi saya, seorang manusia yang baik adalah mereka yang jiwanya tidak pernah lepas dari panggilan ibu-ibu yang melahirkannya itu. Tidak seperti Malin Kundang, seorang anak tidak akan pernah pensiun dari jabatannya sebagai anak. Pada rahim yang telah menitipkan sebagian angan-angannya itulah seorang anak lahir, tumbuh, berkembang, dan mengarahkan hidup.

Setiap dari kita adalah seorang anak. Karenanya, tidak heran jika ada rasa yang begitu familiar ketika kita diajak untuk berkenalan dengan budaya tanah kelahiran orang lain. Selama budaya itu ditempatkan dalam posisinya sebagai ibu, maka ia akan memberi keakraban yang hangat layaknya keluarga. Bersama puisi-puisinya, Sanjuri akan mengantar kita pada kecintaan akan tanah kelahiran yang tak kunjung padam.

jilan meniup seruling di berugak. oki menghibur adiknya yang menangis. dingin kabut terus menyerang. orang-orang membakar jagung. anak-anak kecil belajar tarian batu nganga di depan api. aku juga ikut menari. mamik mempersiapkan penggalian sumur. inak menghidangkan kue serabi.

(kemana perginya hari-harimu)

Untuk sejenak, saya merasa bahwa Lombok adalah tanah kelahiran saya.

Dalam puisi Presean, nuansa kultural diciptakan dengan kuat. Presean adalah nama untuk suatu jenis kesenian Lombok yang berupa pertandingan adu pukul antar dua pepadu (jagoan) dengan penyalin (rotan) para pepadu juga dibekali ende (tameng) yang terbuat dari kulit hewan untuk menangkis sabetan rotan lawan, bertujuan untuk memohon hujan saat kemarau panjang, presean sendiri berasal dari kata perisi yang berarti proses pengebalan diri dengan menggunakan mantra dan bebadong (jimat). Dalam tradisi ini biasanya dipakai sapuk (ikat kepala).

aku tidak menyangka bahwa kau akan hadir lagi di sini, dengan sebilah penyalin dan ende dari kulit kijang seakan berbisik pada bumi bahwa kau adalah pepadu sepanjang zaman
……………
adakah kau menyesal tentang tanah warisan yang hilang? tentang sakit yang berkepanjangan? wajah kita terlalu muda tuk merasakan luka. walau pada akhirnya kita harus menyerah pada cahaya dunia pertama.

(presean)

Nuansa kultural yang terwakili dari upacara presean dalam puisi di atas memberikan sebuah emosi yang dalam. Emosi kedekatan antara anak dan ibu pertiwinya. Namun juga emosi memilukan, yang terpancar karena rasa takut dan sesal pada ketidakberdayaan yang menyebabkan semua kekayaan jiwa di tanah pertiwi hilang. Untuk sejenak saya merasa sayalah yang melakukan presean itu. Dengan sapuk di kepala saya.

* * *
Sebagai hanya seorang penikmat puisi mungkin pendapat saya mengenai struktur puisi tidaklah akurat. Penilaian yang saya berikan tidak lebih dari pengamatan dangkal akan keindahan yang sedapat mungkin saya tangkap dari struktur puisi-puisi yang disajikan oleh Sanjuri ini. Namun saya rasa tidak ada salah jika saya ungkapkan salah satunya di sini.

Saat pertama kali berkenalan dengan puisi-puisi Sanjuri dalam kumpulan ini, saya dihadapkan pada suatu struktur yang rapi, mencirikan sebuah struktur puisi yang memang telah saya kenal sejak lama. Keindahannya muncul secara teratur, lembut dan mendalam. Struktur yang saya maksudkan adalah seperti pada puisi izinkan aku berikut.


izinkan aku mencintaimu sebentar saja
seperti awan yang menggantung di pucuk-pucuk cemara
sedangkan hujan tak turun-turun juga

izinkan aku mencintaimu sebentar saja
seperti kilat yang hinggap di tubuh malam
sedangkan senja tak pernah terekam

izinkan aku mencintaimu sebentar saja
seperti senyummu yang pudar dalam kenangan

(izinkan aku)

Namun seolah terjadi hujan deras secara tiba-tiba, menggantikan cerahnya siang, struktur puisi di atas mengalami evolusi yang begitu cepat. Saya seperti diharuskan untuk merubah mindframe dalam diri saya untuk membaca perubahan tersebut. Struktur lama yang tertata dan lembut tiba-tiba berubah menjadi sebuah struktur yang memungkinkan Sanjuri untuk bebas berteriak. Struktur yang saya maksudkan seperti yang terdapat pada puisi babad-babad cinta berikut ini.

kota praya sesak penuh debu, deru kendaraan terbang ke udara. daun-daun gugur seakan-akan mengajak kita bunuh diri tanpa cinta dan seikat melati, tapi kota ini menjadi indah bagiku setelah aku mengenalmu beberapa bulan yang lalu. dengan bangga aku bercerita tentang indahnya puncak rinjani, teduhnya bendungan batujai, tentang jumlah saudara-saudara kita yang belum kau ketahui. tentang pesta pernikahan secara adat nenek moyang. lalu kita bercanda dalam telepon “kapan kita kabur meninggalkan rumah seperti mereka? sambil membaca babad-babad cinta seorang bangsawan” tapi kita tak pernah bertanya, berapa huruf yang terbuang hari ini? tanpa merasa berdosa tidak menyimpannya dalam puisi.

(babad-babad cinta).

Saya merasa seperti tanah kering gembur yang mendapat hunjaman butir-butir hujan deras yang bertubi-tubi. Atau seperti sedang tidur untuk kemudian terjaga kaget gara-gara suara beker yang memekakkan telinga. Puisi dengan struktur baru ini memiliki daya menerobos yang begitu kuat. Dalam pandangan saya, ia menjadi begitu spontan, tanpa basa-basi.

Suatu perubahan menuntut keberanian yang kreatif, dan itu telah dilakukan oleh Sanjuri melalui puisinya. Saya senang karena memiliki kesempatan menjadi saksi bagi perubahan itu. Dan berharap, perubahan itu juga memicu revolusi dalam diri saya sendiri.

Madura, 1 Desember 2009

Habibi Beka
Pengajar Filsafat Pendidikan dan juga penikmat sastra

Jumat, 14 Mei 2010 di 07.21

0 Comments to "DARI REKAN SPIRITUAL"