SEBERKAS CAHAYA


IA YANG PATUH MELUKIS SEJARAH

Ali Ibnu Anwar

Kabar gembira sudah saya terima. Kabar itu datang dari seorang anak muda gigih yang tetap patuh menulis di atas sejarah tanah leluhurnya.

Bahwa puisi adalah bukan sekedar imaji yang melayang-melayang dan dituliskan begitu saja, terlihat jelas dalam puisi-puisinya. Keindahan gunung, sungai, laut yang ia tulis, bukanlah gunung yang perkasa dalam alam khayal, bukan pula sungai yang melintas dari indera yang tak nampak, bukan laut yang hanya mengantar para nelayan ke altar samudera dan mengantarnya pulang kembali. Lebih jauh, ia melukiskan semua, dari dongeng-dongeng kecil. Dongeng yang melibatkannya melebur dengan semesta. Pada sebuah sajak, ia melukiskan Rinjani, sebagai berikut:

Sepotong senja di puncak Rinjani
adalah senyum yang gemetar di ujung waktu
dan telah sampai kepadaku
pesan nenek monyang
yang lama bergemuruh di dada rakyatmu

(Sepotong Senja di Puncak Rinjani)

Ia menulis sebuah kegelisahan akan kehilangan pulau yang elok dalam pengembaraannya. Bagaimana ia duduk dan … menyaksikan jejak-jejak ikan yang pernah menangisi hidup /dan Gendang Beleq yang ditabuh di Segare Anak kian mengalun menusuk-nusuk rongga dada.

Pembaca akan menemukan sesuatu yang baru, yang belum pernah dipikirkan sebelumnya. Bahkan belum terlintas. Karena multi imaji yang lahir dari puisi-puisinya adalah realitas turun-temurun, yang menyekat kehidupan sebelumnya dengan kehidupan yang ia tempuh saat ini.

Dalam rentang waktu yang sangat singkat, yaitu tahun 2004 hingga 2009, ia telah berhasil menghimpun sejarah yang hilang. Sejarah yang tertimbun ruas-ruas modernitas. Namun puisi-puisinya “berteriak lantang” menggali timbunan itu. Hingga sejarah pecah, menyembul keluar, melepaskan diri, lalu menyatu dengan iramanya.

Walau ada sedikit perbedaan cara penulisan pada tahun-tahun awal puisi itu ditulis oleh penyairnya, namun tidaklah serta merta sejarah ditulis ikut berubah. Ia adalah seorang pengembara yang “membawa sedikit bekal” dari satu tempat ke lain tempat. Dan setiap ia singgah, ia kembali “mencari bekal” yang lagi-lagi hanya cukup untuk mengantarnya ke tempat lain selanjutnya. Begitu seterusnya. Seperti tercermin dalam puisi berjudul Bumi Gora.

Seorang Banjar Getas lahir kembali. Ia tak henti-henti berteriak “Di mana kemerdekaan itu?”, dengan sebuah busur di tangannya, dia siap memanah sejarah dengan anak panah yang terangkai dari puisi yang ia tulis. Begitulah Hasan Sanjuri memanjangkan jari-jarinya ke atas. Ke langit yang ia tunjuk.

Selamat membaca.

Jakarta, 20 November 2009

Ali Ibnu Anwar, Penyair

Jumat, 14 Mei 2010 di 07.56

0 Comments to "SEBERKAS CAHAYA"